vonisinvestigasi.id – Sepak Bola dan Politik Selalu Berjalan Beriringan. Sejak awal Sepak Bola bukan sekedar hiburan. Pierre Bordw, sosiolog asal Prancis pernah menulis, “Sport is a social field where symbolic power is exercised and contested.” Olahraga termasuk sepak bola adalah arena kekuasaan simbolik.
Siapa menguasai, siapa dikendalikan!
Di sinilah sepak bola jadi cermin perebutan pengaruh bukan cuman soal skor atau hasil akhir. Ini adalah beberapa contoh bahwa sepakbola bukan cuman sekedar olahraga. Masih ingat European Super League ketika kudeta oligarki sepak bola yang gagal waktu itu 2021 12 klub raksasa Eropa tiba-tiba diclare European Super League.
Motif utamanya apalagi kalau bukan uang dan kekuasaan. Pemerintah Inggris turun tangan. Uni Eropa bersuara. Fans seluruh Eropa protes besar-besaran. Bahkan PM Inggris waktu itu Borne Johnson ngancem bikin undang-undang baru demi menggagakkan rencana ini. Hasilnya projeknya collaps sebelum sempat berjalan.
Disini Kekuatan Politik dan Suara Rakyat terbukti bisa melawan nominasi oligarki sepak bola.
Contoh lain, Arab Saudi dan sports washing ketika mereka mengakuisisi Newcastle United. 2021, Arab Saudi lewat public investment fund membeli Newcastle United. Langkah ini bagian dari strategi sports washing, yaitu membangun citra dan pengaruh politik lewat sepak bola.
Bukan cuma Newcastle, tapi Liga Pro Saudi juga menggelorkan dana raksasa demi memboyong bintang-bintang Liga Eropa. Cristiano Ronaldo, Neymar, Benzema bukan cuman investasi tapi upaya memperluas soft power Arab Saudi ke panggung dunia. Juga tentu saja lo masih ingat Qatar dan Piala Dunia 2022 diplomasi mereka lewat sepakbola.
Isu HAM dan pekerja migran memang jadi sorotan, tapi secara politik Qatar sukses mendudukkan dirinya di meja utama kekuatan global lewat sepak bola lewat jadi tuan rumah Piala Dunia. Atau kalau kita lihat soal Rusia dan Ukraina, bagaimana sepakbola jadi alat sanksi internasional.
Ya, ribut-ributnya Rusia sama Ukraina itu langsung berdampak ke sepak bola. Ufa dan FIFA melarang tim dan klub Rusia tampil di kompetisi internasional. Sponsor besar seperti Gasprom, Depan Abramovic, ownernya Chelsea terpaksa melepaskan klub karena tekanan politik dan ekonomi. Sepakbola jadi bagian dari sanksi internasional.
Kekuasaan dan Pengaruh Bukan Cuman Sekedar Sportivitas
Kita juga bisa melihat bagaimana klub-klub elit itu menggunakan uang negara. Manchester City, Abu Dhabi, PSG, Qatar, Chelsea, dulu Rusia. Jadi bukti bagaimana sepak bola Eropa tidak lepas dari modal negara, Sultan Minyak atau oligarki. UEFA coba kontrol melalui financial Fairplay, tapi realitanya kekuatan modal besar terus mendikte arah sepak bola modern.
Kasus Man City yang diperiksa karena pelanggaran finansial itu bukan cuman urusan angka sebenarnya, tapi soal pengaruh siapa sebenarnya yang pegang kendali di panggung sepak bola dunia. Juga kalau kita ngomongin soal suporter, politik identitas, aksi massa, dan gerakan sosial, bicara politik di sepak bola enggak bisa lepas dari yang namanya peran supporter.
Bahkan di Eropa Timur, kelompok suporter jadi pionir gerakan perlawanan terhadap rezim otoriter atau bahkan jadi bagian dari rezim otoriter. Di sisi lain, klub-klub besar juga jadi representasi politik identitas. Di Gelas Ghost, Scotland misalnya, Celtic dan Rangers itu bukan cuman dua klub rival, tapi juga representasi kaum Protestan dan Katolik. Irlandia, Inggris, politik imigran dan nasionalis.
Setiap derbi selalu menjadi semacam referendum kecil. Siapa yang benar, siapa yang menang, siapa yang lebih asli. Itu itu selalu jadi bahan perdebatan. Juga kaitan antara sepak bola, migrasi, dan politik populisme. Isu migrasi pemain di sepak bola juga syarat politik.
Negara-negara Eropa Barat Jadi magnet Bakat Negara Dunia Ketiga
Di sisi lain muncul gelombang sentimen populis, pemain asing, merusak identitas lokal. Timnas harus asli anak negeri. Ini enggak lagi ngomongin di mana-mana.
Kita ngomongin soal imigran di Prancis, di Jerman, pasnya mereka juara dunia. Prancis juara Piala Dunia 2018 itu separuh suadnya imigran atau keturunan imigran. Nah, ini jadi bahan politik di Prancis. Sebagian mengklaim ini bukti integrasi masyarakat yang sukses.
Juga kita bisa melihat bagaimana kaitan antara pemain bola dan aktivisme dari lapangan ke luar lapangan. Sekarang banyak pemain yang sadar kekuatan politiknya. Dulu tuh Marcus Rashford di Inggris menggerakkan kampanye bantuan makanan untuk anak-anak miskin.
Sukses memaksa pemerintah mengubah kebijakan. Jadi sebelum ramai-ramai makan bergizi gratis di Indonesia, di Inggris, Marcus Rashford udah duluan bikin makan siang gratis untuk anak-anak sekolah di sana. Atau di Amerika Serikat itu Megan Rapino, pemain bola perempuan yang vokal memperjuangkan kesetarahan gender dan hak LGBT lewat sepak bola.
Di level global, makin banyak bintang sepak bola bersuara lantang soal rasisme, diskriminasi, dan juga ketidakadalan sosial. Mereka enggak cuma jadi bintang lapangan, tapi juga jadi political influencer dengan daya pengaruh yang luar biasa. Melihat semua ini, jelas bahwa sepak bola adalah cermin politik dunia modern. Arena di mana kekuasaan, modal, identitas, dan suara publik saling beradu.
Sejarawan Eric Hopsbom menulis, “Dhe imagine community of millions seems more real as a team of 11 name people.” Ya, sepak bola tuh jadi instrumen identitas kolektif dan kadang lebih terlihat nyata, lebih terlihat kuat daripada nasionalisme konvensional.
Joseph N pencetus teori soft power itu mengingatkan bahwa soft power is the ability to get what you want through attraction rather than coerion or payments. Sepak bola hari ini jadi soft power paling efektif alat negara, korporasi, bahkan penguasa yang menjadi modal untuk mengendalikan opini publik, memperhalus citra, sekaligus memperkuat posisi tawar di level internasional.
Stadion Sudah Menjadi Ruang publik
Seperti yang dikatakan oleh Habermas sebagai tempat masyarakat berkumpul membangun solidaritas dan kadang untuk memulai perubahan.
Jadi, setiap kali Anda menonton pertandingan bola, jangan hanya lihat skor di papan, tapi juga amati siapa yang mengendalikan narasi besar di balik layar di luar lapangan. Karena dalam sepak bola modern yang bertanding bukan cuman 22 orang di atas rumput, tapi juga para penguasa dan oligarki di ruang-ruang kekuasaan. (*)