PONTIANAK KALBAR, vonisinvestigasi.id – Pemerintah Indonesia, melalui PLN (Persero), baru-baru ini mencatat kepemilikan 24.112 ton bahan baku nuklir di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Jumlah fantastis ini cukup untuk mendukung pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berskala nasional.
Namun, di balik kabar ‘kemajuan energi’ ini, muncul pertanyaan besar: untuk siapa sumber daya ini digali? Dan siapa yang paling menderita akibat eksploitasi ini?
Melawi, yang kaya akan potensi alam, justru menyimpan kisah pilu masyarakat adat dan lokal yang sejak lama hidup dalam kemiskinan struktural. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan listrik yang layak masih jauh dari kata memadai.
Jalan-jalan rusak, lapangan kerja terbatas, dan ruang hidup yang makin sempit karena ekspansi industri—adalah pemandangan sehari-hari yang tak tersentuh kamera pemerintah pusat.
Ironisnya, saat negara mengumumkan cadangan nuklirnya ke dunia, rakyat Melawi bahkan belum pernah merasakan manfaat langsung dari kekayaan alam mereka sendiri. Yang mereka dapatkan justru adalah dampak lingkungan, penggusuran, dan janji-janji kosong investasi yang tak kunjung membebaskan mereka dari kemiskinan.
Di tengah retorika transisi energi dan ketahanan nasional, pemerintah terkesan lebih sibuk menghitung tonase dan laba, ketimbang menakar keadilan sosial. Apakah negara ini hanya peduli pada energi untuk kota-kota besar, tapi abai pada desa-desa yang telah menyumbang ‘bahan bakarnya’? Apakah rakyat Melawi hanya akan menjadi penonton di tanah sendiri, sekali lagi?
Jika tidak ada perubahan paradigma—dari ekstraksi ke distribusi keadilan—maka proyek nuklir ini hanya akan menjadi simbol baru dari kolonialisme modern: di mana rakyat ditindas dengan elegan, dan sumber daya dikuras atas nama pembangunan.
Oleh : Afrianus Starky, ST